Transformasi Tata Kelola Risiko di Lingkungan BUMN
Jakarta, businessnews.co.id — Anas Puji Istanto, Asisten Deputi Bidang Perundang-Undangan Kementerian BUMN RI, menjadi salah satu narasumber dalam acara Workshop GRC & BJR in UU BUMN 2025: Enabling Strategic Intelligence Through AI, yang digelar oleh Majalah BusinessNews Indonesia di The Tribrata Dharmawangsa, Jakarta Selatan pada Jum’at (22/8). Dalam presentasinya yang berjudul From Compliance to Value Creation: Redefining Risk Governance in BUMN, Anas menekankan pentingnya pergeseran paradigma dari sekadar kepatuhan menuju penciptaan nilai melalui tata kelola risiko yang strategis dan adaptif.
Mengawali paparannya, Anas menjelaskan kembali unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Pasal ini menekankan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara dapat dipidana,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa integritas dan kehati-hatian dalam pengambilan keputusan merupakan benteng utama mencegah potensi korupsi di tubuh BUMN.
Selanjutnya, ia menyoroti pentingnya pemahaman terhadap Business Judgement Rule (BJR) yang tercantum dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Menurut Anas, BJR melindungi direksi sepanjang keputusan bisnis yang diambil dilakukan dengan iktikad baik, penuh kehati-hatian, dan tidak ada konflik kepentingan. “Asal keputusan diambil dengan pertimbangan rasional dan informasi yang memadai, maka manajemen tidak bisa serta-merta dibebani tanggung jawab pidana atau perdata,” jelasnya.
Namun, Anas juga menegaskan bahwa penerapan BJR tidak dapat digunakan sebagai tameng untuk membenarkan praktik penyimpangan. Ia mencontohkan beberapa kasus hukum yang menimpa pejabat BUMN karena pengambilan keputusan yang tidak sesuai prinsip tata kelola. “Inilah mengapa penguatan struktur tata kelola risiko sangat penting,” katanya.
Anas menyinggung pula isu-isu hukum strategis yang kerap muncul dalam pengelolaan BUMN, mulai dari konflik kepentingan, dualisme peran komisaris, ketidaksesuaian antara regulasi korporasi dan peraturan perundang-undangan, hingga peran pemegang saham negara yang dominan. Ia menyebut pentingnya harmonisasi hukum dan kebijakan agar manajemen BUMN tidak terjebak dalam ketidakpastian hukum.
Struktur pengelolaan BUMN, menurut Anas, kini mengalami penyempurnaan seiring dengan terbitnya UU No. 1 Tahun 2025 yang merevisi beberapa ketentuan dalam UU No. 19 Tahun 2003. “UU BUMN yang baru menekankan penguatan fungsi strategis dewan pengawas, pembagian peran yang lebih jelas antara pemegang saham dan direksi, serta dorongan pada penerapan digital governance,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa peran teknologi, khususnya kecerdasan buatan, menjadi faktor kunci dalam menciptakan strategic intelligence dalam tata kelola risiko di BUMN. “AI tidak hanya mempercepat proses deteksi risiko, tapi juga mendukung pengambilan keputusan berbasis data real-time, yang sangat krusial dalam lingkungan bisnis yang volatil,” tutur Anas.
Anas juga mengingatkan bahwa upaya peningkatan tata kelola risiko harus melibatkan seluruh lapisan organisasi. GRC (Governance, Risk, and Compliance) bukan hanya tanggung jawab unit tertentu, tapi merupakan budaya yang harus terintegrasi dalam proses bisnis. “Kepatuhan bukan lagi tujuan akhir, melainkan jembatan menuju penciptaan nilai yang berkelanjutan,” ungkapnya.
Dengan pendekatan yang menyeluruh, Anas menutup presentasinya dengan ajakan untuk menjadikan transformasi tata kelola risiko sebagai fondasi utama BUMN dalam mencapai kinerja unggul dan kontribusi optimal bagi perekonomian nasional. “Kita harus melampaui kepatuhan, dan membangun sistem yang secara aktif menciptakan nilai,” tutup Anas.
Comments are closed.