BusinessNews Indonesia – Bank sentral Amerika atau Federal Reserve akan kembali menetapkan arah suku bunga acuan dalam rapat dewan gubernur atau disebut juga Federal Open Market Committee (FOMC), pada 19-20 September mendatang. Pasar memperkirakan suku bunga acuan akan dipertahankan atau tidak berubah meski gubernur bank sentral US Jerome Powel masih membuka kemungkinan untuk kembali menaikkan suku bunga bila inflasi masih merangkak naik.
PT Bahana TCW Investment Management (“Bahana TCW”) memperkirakan, the fed akan mempertahankan suku bunga acuan sebesar 5,50% dalam pertemuan bulan ini, meski inflasi US pada Agustus yang lalu kembali naik ke level 3,7% secara tahunan, sedangkan periode Juli 2023, inflasi tercatat sebesar 3,2%. Pasalnya, saat ini bank sentral global sudah mulai menyadari pentingnya mendukung pertumbuhan ekonomi, meski dalam jangka pendek masih ada tekanan inflasi.
‘’Kami melihat ke depan bank sentral global segera shifting kearah growth over stability. Namun perlu dicatat bahwa stability bisa tetap dijaga dengan beragam kebijakan,’’ papar Ekonom Bahana TCW Emil Muhamad. Bank Indonesia (BI) misalnya bisa menempuh kebijakan pro growth melalui kebijakan makroprudensial loan to value (LTV) dan diskon giro wajib minimum (GWM), sedangkan untuk menjaga stabilitas dilakukan dengan kebijakan suku bunga dan juga melalui sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI), tambahnya.
Tentunya pasar akan terkejut bila US kembali menaikkan suku bunganya, namun kenaikan itu tidak perlu direspon oleh BI dengan menaikkan suku bunga acuan. Bila the fed menaikkan suku bunganya pada bulan ini, maka untuk pertama kali dalam sejarah, suku bunga acuan US berada pada level yang sama dengan suku bunga acuan Indonesia sebesar 5,75%.
Hal ini memang akan menambah tekanan terhadap nilai tukar, namun bank sentral bisa menjalankan triple intervention dan instrumen barunya SRBI. Dalam kondisi global yang penuh tekanan saat ini, menjaga yield differential dianggap lebih penting bagi kebijakan moneter. Pada pertengahan September ini selisih yield surat berharga negara (SBN) dengan surat berharga US atau disebut juga US treasury (UST) tenor 10 tahun telah naik ke 2,35%.
Selama selisihnya masih diatas level terendah yang pernah terjadi di 2,12%, yield SBN masih cukup menarik bagi investor asing, apalagi pemerintah terus berupaya menekan inflasi domestik. Badan pusat statistik (BPS) mencatat inflasi pada Agustus sebesar 3,27% secara tahunan sehingga inflasi Indonesia sejak Januari hingga Agustus 2023, tercatat sebesar 1,33%, masih berada dalam target bank sentral sekitar 2% – 4% hingga akhir 2023.
‘’Dengan menjaga yield di pasar keuangan tetap menarik, BI dapat mempertahankan suku bunga meski the fed masih membuka kemungkinan untuk menaikkan suku bunganya satu kali lagi kedepan,’’ ungkap Emil. Kami sendiri memperkirakan suku bunga the fed dan BI 7-day reserve repo rate tidak akan bergerak hingga akhir tahun meski dalam jangka pendek masih ada tekanan inflasi. Bank sentral secara global akan lebih mempertimbangkan prospek pertumbuhan dan inflasi di tahun depan dalam menentukan arah kebijakannya hingga akhir tahun ini, terang Emil.
Comments are closed.