Taliban Kini Berubah Menjadi Moderat, Benarkah?
BusinessNews Indonesia –Setelah menduduki Kabul, ibu kota Afghanistan, kini Taliban mengaku telah berubah menjadi lebih moderat. Berjanji akan menjalin kerjasama dengan pelbagai pihak, termasuk negara-negara luar, seperti China dan lainnya. Benarkah demikian?
Sejatinya, Taliban adalah kelompok fundamentalis Islam yang terbentuk pada September 1994 dan didominasi oleh sekelompok santri dari etnik Pashtun yang menginginkan adanya pemulihan keamanan dan perdamaian berdasarkan syariat Islam yang sesungguhnya.
Kelompok Taliban kemudian berubah menjadi gerakan yang berniat menghancurkan pemerintahan yang tidak sesuai konsep ajaran Islam. Setelah menguasai ibu kota Afganistan, Taliban kemudian bergerak dengan cepat sehingga dapat menduduki pemerintahan pada September 1996. Sejak tahun 1996 Taliban menjadikan Afganistan satu-satunya negara Islam yang menerapkan pemerintahan Islam di atas asas-asas hukum Islam, seperti dikutip dari Council on Foreign Relations, sebuah organisasi think tank nonpartisan.
Pada 1996, faksi ini terus bergerak dengan mendapat bantuan dari luar negeri untuk merebut Kota Kabul dan menggulingkan rezim Mujahiddin. Saat itu kelompok Taliban sudah menguasai 80 persen wilayah Afganistan.
Setelah menguasai Kota Kabul, Taliban mengubah sederet hukum dan peraturan sesuai dengan ajaran yang mereka percaya, mulai dari menghukum pelaku zina dan pembunuhan di depan umum, hingga menghapus segala bentuk pengaruh dari luar Afganistan, sehingga mereka pun memberlakukan aturan tayang media televisi dan memboikot internet.
Pada awal terbentuknya, rakyat Afganistan menyambut baik kelompok Taliban. Warga Afganistan menaruh kepercayaannya kepada Taliban setelah berhasil menggulingkan Mujahiddin dari kursi kepala negara. Kepercayaan warga pada saat itu meningkat ketika Taliban berhasil memberantas kasus korupsi di Afganistan. Mereka dinilai mampu untuk menegakkan keadilan sesuai dengan syariat Islam. Popularitas Taliban meroket saat mereka berhasil membangun jalan di berbagai kawasan dalam negeri untuk memperlancar perdagangan.
Namun, karena munculnya aturan-aturan yang tidak bisa diterima oleh kelompok Afganistan lainnya, sehingga timbul sejumlah perlawanan dari berbagai etnik lokal, seperti etnik Uzbek, Tajik, hingga Hazara.
Peraturan Taliban yang paling menindas adalah aturan terhadap kaum perempuan. Perempuan dilarang keluar rumah tanpa ditemani oleh wali laki-laki, dilarang belajar dan bekerja. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan mencakup setiap aspek kehidupan perempuan dan anak perempuan seperti kesehatan, mata pencaharian, akses untuk sumber daya sosial dan budaya serta kesempatan untuk memperoleh pendidikan.
Mereka juga mewajibkan para perempuan Afganistan mengenakan burqa. Begitu pun bagi pria, pria dilarang untuk menggunakan pakaian ketat.
Digulingkan oleh invasi Amerika Serikat
Selama dua dekade terakhir, pemerintah dan badan internasional bergabung dengan AS untuk menggulingkan Taliban dan mendukung pemerintahan Afganistan, lembaga demokrasi, dan masyarakat sipil.
Pasukan koalisi Amerika Serikat menginvasi Taliban pada Oktober 2001 dan berhasil menggulingkan kelompok tersebut di Kabul, sebulan setelah serangan menara kembar World Trade Center (WTC) di New York pada 11 September 2001.
Invasi ini dilakukan secara mengejutkan sehingga kelompok Taliban langsung keluar dari ibu kota Afganistan, Kabul. Pasukan koalisi Amerika Serikat dapat dengan mudah dan cepat menguasai Afganistan.
Dewan keamanan PBB juga menjatuhkan sanksi pada rezim tersebut karena menyembunyikan al-Qaeda pada tahun 1999 dan memperluas sanksi setelah teror 9/11.
Beberapa bulan setelah invasi AS, negara-negara anggota PBB berkomitmen untuk mendukung transisi Afganistan dan kekuasaan Taliban. Amerika Serikat dan NATO memplopori upaya rekonstruksi. Banyak negara juga memberikan bantuan ke Afganistan, dengan 75 persen pengeluaran publik pemerintah saat itu ditanggung oleh hibah dari mitra internasional, menurut laporan Bank Dunia 2019. Selama konferensi pada tahun 2020, para donor menjanjikan bantuan sebesar US$3,3 miliar (Rp47,5 triliun).
Taliban sekarang sedang diselidiki di Pengadilan Kriminal Internasional atas dugaan pelanggaran terhadap warga sipil Afganistan, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dilakukan sejak 2003. Pasukan AS dan Afganistan juga sedang diselidiki atas tuduhan kejahatan perang.
Pada tahun 2020 pemerintah Afganistan dan perwakilan Taliban mengumumkan bahwa mereka telah mencapai kesepakatan awal untuk melanjutkan pembicaraan damai antara kedua pihak.
Perjanjian tersebut membuka jalan ke depan untuk bisa melakukan diskusi lebih lanjut dan dianggap sebagai terobosan.
“Prosedur termasuk pembukaan negosiasi telah diselesaikan dan mulai sekarang, negosiasi akan dimulai dalam agenda,” kata Nader Nadery, anggota tim negosiasi pemerintah Afganistan, kepada Reuters.
Gerilyawan Taliban telah menolak untuk menyetujui gencatan senjata selama tahap awal pembicaraan, meskipun ada seruan dari Barat dan badan-badan global, yang menyatakan bahwa langkah itu hanya akan diambil jika jalan ke depan untuk pembicaraan telah disepakati bersama.
Taliban menolak mengakui tim negosiasi Afganistan sebagai perwakilan dari pemerintah Afganistan, karena mereka menentang keabsahan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Ashraf Ghani, yang mereka lihat sebagai boneka AS.
Saat Taliban berhasil digulingkan dari kekuasaan pada 2001 oleh pasukan pimpinan AS, pemerintah yang didukung AS telah memegang kekuasaan di Afganistan sejak itu, meskipun Taliban tetap memiliki kendali atas wilayah pedalaman di utara.
Berdasarkan kesepakatan Februari, pasukan asing akan meninggalkan Afganistan pada Mei 2021 dengan imbalan jaminan kontra-terorisme dari Taliban, termasuk merundingkan gencatan senjata permanen dan formula pembagian kekuasaan dengan pemerintah Afganistan.
Taliban Berubah
“Kami tak ingin mengulangi konflik dan perang apa pun, serta ingin meniadakan faktor-faktor konflik,” kata juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid dalam konferensi pers di Kabul, Selasa (17/8/2021).
Nada rekonsiliatif Taliban juga meliputi janji amnesti kepada siapa pun yang berseberangan dengan mereka, termasuk para penerjemah dan kontraktor yang bekerja untuk pasukan asing sejak 2001.
“Tak ada yang akan melukai Anda, tak ada yang akan mengetuk pintu Anda,” kata Mujahid.
Taliban juga berjanji akan memuliakan apa yang selama ini dikhawatirkan dunia, termasuk PBB, yakni kaum perempuan.
“Hak-hak perempuan akan dihormati. Mereka boleh bekerja, belajar dan aktif bermasyarakat tetapi menurut syariat Islam,” kata Mujahid.
Sekalipun masih disertai kata “tetapi”, pernyataan ini merupakan kemajuan besar untuk kelompok yang selama ini dicap tidak toleran dan tidak mengakui hak-hak perempuan seperti mereka tunjukkan saat berkuasa dari 1996 sampai 2001.
Berubahkah Taliban? Banyak yang pesimistis, tapi tak sedikit pula yang optimistis bahwa Taliban sudah berubah. Rusia bahkan melihat wajah “lebih pragmatis” dari Taliban, tidak seperti saat pertama kali mereka berkuasa pada 1996-2001 itu.
Pernyataan Mujahid sendiri sedikit memperkuat bahwa yang selama ini terjadi di lapangan di mana cara Taliban menguasai Afghanistan kali ini lebih elok ketimbang akhir 1990-an.
Mereka kini memadukan diplomasi dan senjata, dengan mau berbicara sama siapa pun, bukan hanya Pakistan, Amerika Serikat dan Qatar, tetapi juga Rusia, Iran dan China.
Salah satu contoh pragmatisme itu terlihat dari cara mereka melancarkan operasi militer yang tak begitu menumpahkan darah, termasuk sewaktu menguasai ibu kota Kabul.
Taliban sekarang berbeda dengan Taliban era 1990-an. Taliban yang sekarang mahir mengintegrasikan instrumen kekuatan militer dan non-militer dalam meluluskan tujuan politiknya, kata Benjamin Jensen, pakar hubungan internasional pada Scowcroft Center for Strategy and Security seperti dikutip Atlantic Council.
Pemerintah Afghanistan dikalahkan oleh sebuah organisasi militer yang lebih adaptif, selain karena korupsi yang akut. Taliban tak perlu teori-teori militer canggih dari pakar-pakar strategis seperti Carl von Clausewitz. Mereka hanya mengandalkan teori kemenangan menyeluruh yang dipandu oleh gabungan ofensif politik dan manuver militer.
Taliban pun berubah menjadi kelompok militer yang bisa merangsek segala lini. Mereka tak lagi mengandalkan penyergapan dan teror bom untuk melemahkan musuh, melainkan dengan mengelola 80.000 laskarnya yang piawai memanfaatkan media sosial sama terampilnya dengan mengokang AK-47.
Mereka menggabungkan operasi informasi, termasuk memanfaatkan seruan tetua-tetua suku dan rangkaian pesan teks serta Twitter, dengan perintah terdesentralisasi yang membuat komandan-komandan lapangan yang mengetahui medan dan politik di wilayahnya bisa mengidentifikasi peluang dari setiap inisiatif.
Baca juga: Taliban Rebut Kekuasaan, China Hormati Hak Rakyat Afghanistan
Baca juga: PTPN Luncurkan Nusakita demi Rambah Bisnis Ritel
Begitu operasi militer berhasil, mereka menguatkan operasi militer itu dengan menggelarkan pasukan semacam komando untuk memacu tempo ofensif militer. (ed.AS/businessnews.co.id/AN)
Comments are closed.