NCC 2024

Manajemen Krisis Pelecehan Seksual di Kendaran Umum oleh PPPA

Oleh: Dwi Ulina Sari (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina Jakarta)

JAKARTA, businessnews.co.id – Dewasa ini, intensitas penggunaan transportasi umum semakin meningkat, bahkan hampir semua kalangan termasuk perempuan saat ini banyak sekali menggunakan transportasi umum karena dianggap sangat memudahkan. Namun, dibalik manfaatnya, juga tersimpan sisi negatif dari masifnya penggunaan transportasi umum, yaitu munculnya kasus pelecehan seksual.

Banyaknya kasus baru yang terus terjadi dan isu negatif yang terus berkembang tidak dapat dibendung dan semakin menyebar di kalangan masyarakat. Sebagai salah satu moda transportasi yang cukup efisien, munculnya kasus pelecehan seksual tentu berpotensi untuk menyulitkan dalam penanganan sebuah krisis serta tingginya rasa khawatir masyarakat.

Berdasarkan data yang didapatkan dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang merilis Hasil Survei Nasional 2023, pelecehan seksual di ruang publik menunjukkan bahwasanya transportasi umum menjadi lokasi kedua tertinggi terjadinya pelecehan seksual di ruang publik. Persentase sebanyak 46.80% responden mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum, sebanyak 35.8% responden mengalami pelecehan di bus, dan sebanyak 29.49% responden mengalami pelecehan di angkot. KRPA menemukan tiga dari lima perempuan serta satu dari sepuluh laki-laki mengalami pelecehan seksual di ruang publik.

Bentuk pelecehan seksual yang sering dilakukan di transportasi umum berupa siulan/ sahutan, suara kecupan, komentar atas tubuh, komentar atas seksual yang gamblang, seksis, serta rasis. Tidak jarang juga bentuk pelecehan dilakukan seperti main mata, memotret secara diam-diam, diintip, diklakson, gestur vulgar, dipertontonkan masturbasi publik, dihadang, diperlihatkan kelamin, didekati dengan agresif, diikuti/ diuntit, hingga disentuh, diraba bahkan digesekkan dengan alat kelamin.

Isu yang semakin dibiarkan dan terus berkembang akhirnya akan menyebabkan krisis yang berpotensi untuk sulit ditangani. Terlebih saat ini isu negatif akan berujung fatal. Krisis dapat dilihat dan dicegah dengan cara mencari tahu penyebab internal dan eksternal serta menindaklanjuti kasus (Seeger, 2015).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) perlu mengantisipasi serta memberikan sanksi tegas terhadap kasus ini agar tidak terjadi kembali. Terlebih dengan memberikan penanganan nyata agar isu yang dapat menimbulkan krisis ini tidak semakin berkembang dan akhirnya memunculkan kasus yang relatif sama berulang kali.

Stop Kekerasa Seksual! (Foto: Freepik)
Stop Pelecehan Seksual! (Foto: Freepik)

Sayangnya, hingga sampai saat ini kasus pelecehan yang terjadi di transportasi umum terus marak dan mengalami peningkatan. Ternyata upaya pencegahan dan penanganan-penanganan yang dilakukan Kementerian PPPA masih belum cukup untuk menurunkan angka kasus pelecehan seksual yang terjadi di transportasi umum.

Dalam pidatonya di Bali pada 7 Desember 2023, Menteri PPPA Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan secara general bahwa kasus ini harus menjadi perhatian seluruh pihak, karena maksimalnya perlindungan perempuan dan anak tidak akan terwujud jika kesadaran masyarakat belum merata. Sebaiknya tidak hanya melakukan ataupun mendukung gerakan kampanye secara masif saja, namun juga gerakan intervensi 5D (Dialihkan, Dilaporkan, Dokumentasikan, Ditegur, dan Ditenangkan) yang juga ikut diusung oleh Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati, harus menjadi tombak yang direalisasikan secara nyata dan tegas bukan hanya sekedar pencegahan namun juga menindaklanjuti pelaku pelecehan seksual di kendaraan umum dengan sepantasnya.

Walaupun sampai saat ini Kementerian PPPA telah menjalani kerjasama serta kolaborasi dengan berbagai Lembaga Transportasi Umum seperti KAI, busway, bahkan angkutan lain namun tetap saja tidak ada regulasi tegas yang mengatur mengenai spesifikasi kekerasan pelecehan seksual di kendaraan umum secara resmi dan gamblang.

Isu dan insiden ini bisa saja disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Dalam buku “Crisis, Issues, and Reputation Management” (Andrew Griffin (2014)), mengelompokkan dengan rinci faktor penyebab reputasi mulai dari konflik internal, pelanggaran kebijakan, masalah budaya dalam organisasi, serta permasalahan sumber daya dan kinerja yang buruk. Diikuti dengan penyebab faktor eksternal berupa, perubahan regulasi serta perubahan sosial politik.

Terlepas adanya pengupayaan kegiatan tersebut, tetap saja korban yang mendominasi perempuan belum sepenuhnya aman dari kekerasan dan pelecehan seksual di transportasi publik. Penerapan UU TPKS yang sudah diberikan pemerintah secara umum seharusnya perlu dispesifikasikan menjadi aturan khusus untuk transportasi publik terkait pelecehan seksual. Karena aturan hukum yang tegas untuk tindak kekerasan dan pelecehan seksual di transportasi publik sangat diperlukan demi mencegah terjadinya pelanggaran yang terus berulang di masa yang akan datang. Transportasi umum yang nyaman dan aman akan mendukung terciptanya transportasi berkelanjutan yang baik untuk semua kalangan pengguna, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual.

Dalam mengatasi sebuah krisis, tentu saja harus diikuti dengan perencanaan dan strategi yang khusus. Nantinya hal tersebut akan digunakan untuk menanggapi, menghadapi, dan menangani krisis dengan cepat serta terarah. Perlu diketahui bahwa komunikasi efektif turut andil dan berperan penting dalam menghadapi suatu krisis. Tidak lupa juga dengan menciptakan manajemen krisis yang efektif, dapat mencegah dan membungkam pandangan ataupun keraguan publik yang berpotensi meluas dan akan merugikan citra maupun reputasi sebuah instansi khususnya Kementerian PPPA.

Pada dasarnya krisis merupakan hal yang harus dicegah kedatangannya. Dimana kehadirannya merupakan suatu keadaan atau situasi yang tidak diinginkan yang terjadi secara tidak stabil dengan berbagai kemungkinan dan mampu menghasilkan hasil yang tidak diharapkan nantinya (Devlin, 2007). Dalam hal ini, Kementerian PPPA harus mampu mengurangi bahkan memperkecil kemungkinan isu dan krisis ini menjadi lebih buruk kedepannya. Langkah yang harus dilakukan berupa meninjau serta memperjelas kembali regulasi mengenai kasus pelecehan seksual di kendaraan umum secara rinci dan spesifik. Mengelola krisis adalah salah satu cara yang diperlukan agar nantinya tidak semakin memperburuk keadaan serta citra dan reputasi Kementerian PPPA sebagai tumpuan pengaduan masyarakat, dengan begitu membentuk serta menangani manajemen krisis akan menjadi sangat penting (Kriyantono, 2012).

Sejalan dengan urgensi manajemen krisis pelecehan seksual di kendaraan umum oleh Kementerian PPPA, tujuan adanya manajemen krisis memang pada dasarnya untuk berusaha menghentikan dampak buruk yang datang dari peristiwa yang terjadi melalui perencanaan dan strategi yang siap dan tanggap, juga nantinya diharapkan mampu menahan perkembangan dan pertumbuhan isu menjadi lebih buruk.

Comments are closed.