Tragedi Kanjuruhan, Siapa yang Pantas Disalahkan?
Jakarta, Businessnews Indonesia – 1 Oktober 2022 akan selalu dikenang sebagai salah satu insiden paling tragis dalam dunia sepak bola. Bagaimana tidak? Pada hari itu di Stadion Kanjuruhan Malang menewaskan sedikitnya 130 orang dan sekitar 180 orang mengalami luka-luka. Melihat angkanya yang luar biasa, tentu saja hal ini menarik perhatian dunia.
Miris, mungkin ini kata yang tepat untuk menggambarkan tragedi Kanjuruhan ini. Sepak Bola yang seharusnya menjadi ajang hiburan bagi semua, malah menjadi sebuah petaka yang menghadirkan duka.
Lantas siapa yang disalahkan atas tragedi ini? Banyak pihak yang menuding pihak kepolisian karena tega menembakan gas air mata yang menjadi penyebab kematian para suporter.
Apakah semua salah polisi? Jika melihat dari berbagai sudut pandang, menurut saya, ada tiga pihak yang menjadi biang kerok dari tragedi ini. Pertama para suporter yang memulai provokasi, kedua pihak kepolisian yang menembakan gas air mata di dalam stadion, dan yang ketiga pihak penyelenggara liga, dalam hal ini ada PT LIB dan PSSI.
Rivalitas antar klub memang sudah menjadi hal lumrah dalam dunia sepak bola, seperti yang terjadi antara Real Madrid dan FC Barcelona, atau Rival sekota seperti Internazionale dan AC Milan. Begitu pun dengan rivalitas di klub lokal seperti Arema FC dan Persebaya Surabaya atau Persija Jakarta dan Persib Bandung. Namun berbeda dengan kebanyakan suporter negara-negara maju, suporter Indonesia seringkali masih belum bisa mengedepankan sportifitas dan saling menghargai sesama suporter. Tidak jarang kita mendengar berita mengenai sikap anarkis oknum-oknum suporter lokal yang akhirnya membuat seluruh suporter sepak bola lokal ini menjadi tercoreng.
Hal ini yang menjadi salah satu penyebab terjadinya tragedi Kanjuruhan, jika sebagian oknum Aremania (sebutan untuk suporter Arema FC) bisa menerima kekalahan dengan lapang dada dan tidak turun ke lapangan, maka mungkin saja kejadian Kanjuruhan yang memakan korban jiwa ini tidak terjadi.
Dan jika polisi sebagai pihak pengaman laga Arema FC dan Persebaya Surabaya tidak menembakan gas air mata di dalam stadion yang ramai dengan akses keluar yang minim sehingga membuat kepanikan, mungkin saja korban luka dan jiwa bisa diminimalisir.
Apakah benar gas air mata bisa menyebabkan kematian? Dilansir dari Medicalnewstoday, zat kimia yang terkandung dalam gas air mata dapat mengiritasi kulit, paru-paru, mata, dan tenggorokan. Dampak terkena gas air mata bisa berakibat jangka panjang dan jangka pendek, seperti iritasi kulit, luka pada mata yang parah, kerusakan pada sistem pencernaan, bahkan jika terkena paparan tinggi dari gas air mata bisa menyebabkan kematian.
Oleh karena itu FIFA sebagai induk sepak bola tertinggi dunia melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion sepak bola. Mengutip dokumen ‘FIFA Stadium Safety and Security’, aturan tersebut tertuang dalam Pasal 19 Nomor b tentang Pitchside stewards, yang berbunyi “No fi rearms or “crowd control gas” shall be carried or used” (Tidak boleh membawa atau menggunakan senjata api atau ‘gas pengendali massa’).
Dan pihak terakhir yang bisa disalahkan adalah PSSI sebagai induk organisasi sepak bola di Indonesia dan PT LIB sebagai penyelenggara Liga Indonesia. Sebagai induk sepak bola tertinggi di Indonesia, PSSI seharusnya sudah memberikan arahannya kepada PT LIB soal kemungkinan terjadi kerusuhan seperti ini, karena memang hal ini bisa dibilang lumrah dalam beberapa pertandingan sebelumnya. Apalagi pertandingan ini dilakukan di malam hari.
Dan mungkin saja, PSSI dan PT LIB kurang memberikan sosialisasi serta arahan soal penggunaan gas air mata dalam stadion ini kepada polisi sebagai penanggung jawab keamanan dalam pertandingan liga Indonesia. Hal ini merujuk pada komentar Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur, Irjen Nico Afinta dalam konferensi persnya yang menyebutkan penembakan gas air mata ini sudah sesuai prosedur yang berlaku.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Pasca kejadian ini, PSSI dan PT LIB harus segera berbenah secara menyeluruh. Agak disayangkan negara dengan mayoritas penggemar sepak bola seperti Indonesia namun masih tertinggal jauh dalam pengelolaan organisasi sepak bola dan penyelenggaraan liga.
Selain itu, para suporter harus makin sadar bahwa nyawa seseorang lebih berharga daripada rivalitas semata. Mau sampai kapan kita harus khawatir untuk menonton sepak bola di stadion? Bukankan lebih baik jika para suporter duduk bersama di stadion sambil menikmati jalannya laga? Semoga saja tragedi Kanjuruhan ini menjadi akhir dari citra buruknya suporter Indonesia.
Pada akhirnya, semua pihak harus saling berbenah, saling menjaga, dan saling mengingatkan agar tragedi Kanjuruhan tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Sebagai negara yang besar, sepak bola Indonesia seharusnya bisa dikenal dunia karena prestasi, bukan karena tragedi!
Maju terus sepak bola Indonesia. Salam damai dari dan untuk seluruh pecinta sepak bola Indonesia!
Ahmad Faqih Zuhair
Comments are closed.