BusinessNews Indonesia – Sejumlah mata uang Asia menghadapi tekanan yang cukup dalam sejak bulan lalu, termasuk nilai tukar rupiah. Baht Thailand dan Ringgit Malaysia bahkan mengalami depresiasi yang cukup dalam sejak awal tahun ini. Ketidakpastian global menjadi salah satu penyebabnya terutama kondisi pasar keuangan Amerika.
Menurut Ekonom PT Bahana TCW Investment Management Emil Muhamad, pelemahan rupiah disebabkan oleh perpaduan faktor global dan domestik. Secara global, indeks dolar DXY menguat sebesar 2,45% sejak awal tahun sehingga menekan hampir semua mata uang di dunia termasuk Indonesia. Tingginya yield obligasi US juga memicu keluarnya dana-dana asing dari pasar obligasi negara berkembang.
‘’Bersamaan dengan kedua faktor global tersebut, secara domestik Indonesia mencatat defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal kedua tahun ini meskipun tidak terlalu besar,’’ terang Emil. Namun kami meyakini penguatan indeks dolar DXY yang terjadi saat ini sifatnya sementara, kedepan akan melemah kembali sepanjang tidak terjadi eskalasi perang besar, sehingga masih terbuka peluang bagi penguatan rupiah dan mata uang Asia lainnya, paparnya.
Berdasarkan index ADXY, mata uang Asia selain Jepang telah melemah sebesar 4,43% sejak awal tahun hingga saat ini. Ringgit Malaysia tertekan hingga 6,57%, Baht Thailand terdepresiasi sebesar 6,42%, sedangkan pelemahan Rupiah sekitar 0,88% secara year to date (YTD), meski Rupiah sempat tertekan ke level 15.735 per dollar pada 10 Oktober 2023. Bank Indonesia (BI) bersama dengan pemerintah telah melakukan upaya untuk menjaga stabilitas rupiah.
Kebijakan moneter telah mengambil langkah aktif dengan melakukan intervensi di pasar spot dan Domestc Non Deliverable Forward (DNDF). Berbagai instrumen baru seperti term deposit valuta asing devisa hasil ekspor (TD DHE Valas) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), belum banyak dimanfaatkan oleh investor.
Berbagai upaya stabilisasi rupiah tentu saja berdampak pada turunnya cadangan devisa Indonesia ke kisaran US$134,9 miliar atau setara 6,1 bulan impor, pada akhir September, dari US$137,09 miliar pada bulan sebelumnya. Meski mengalami penurunan, posisi cadangan devisa, Indonesia terbilang cukup aman sebab masih jauh dari standar kecukupan internasional yang ditetapkan sebesar tiga bulan impor.
BI mencatat selama kuartal dua tahun ini, transaksi berjalan defisit sebesar US$ 1,9 miliar atau setara dengan 0,5% dari Produk Domestik Bruto(PDB). Setelah, pada kuartal sebelumnya membukukan surplus sebesar US$ 3 miliar atau setara 0,9% dari PDB.
‘’Kami memperkirakan rupiah masih memiliki peluang berbalik menguat hingga akhir tahun, seiring dengan penurunan yield obligasi global yang dapat membuat instrumen keuangan dalam negeri kembali menarik minat investor untuk masuk,’’ ungkap Emil. Kami mengantisipasi rupiah bergerak pada kisaran Rp 15.200 – 15.800 per dolar, dengan kecenderungan menguat ke batas bawah, tambahnya.
Comments are closed.