“Jodoh 3 Bujang”: Cari Jodoh Terbentur Budaya dalam Balutan Komedi

Jakarta, businessnews.co.id — Starvision, rumah produksi yang selalu sukses dengan komedi romantis seperti waralaba Get Married, hingga hit Lebaran Komang, kini akan kembali dengan judul terbarunya, Jodoh 3 Bujang. Bekerja sama dengan Rhaya Flicks, film komedi romantis Jodoh 3 Bujang diangkat dari kisah nyata yang viral dan pernah jadi dokumenter pendek tentang kisah tiga bujang bersaudara dalam melaksanakan nikah kembar.

Disutradarai Arfan Sabran, ditulis Arfan bersama Erwin Wu dan Alwi Shihab, film Jodoh 3 Bujang diproduseri oleh Chand Parwez Servia dan Futih Aljihadi. Film ini dibintangi di antaranya oleh Jourdy Pranata, Aisha Nurra Datau, Maizura, Christoffer Nelwan, Barbie Arzetta, Rey Bong, Elsa Japasal, Arswendy Bening Swara, Cut Mini, Nugie, Iwan Coy, Zakaribo, Le Roy Osmany, Nunu Datau, Musdalifah Basri, Arla Ailani, Hery Chan, Syamsul, Zulkifli, dll.

Mengambil latar dari keluarga Bugis-Makassar, Jodoh 3 Bujang menceritakan tiga bujang bersaudara, Fadly (Jourdy Pranata), Kifly (Christoffer Nelwan), dan Ahmad (Rey Bong), yang diminta orangtuanya untuk nikah kembar karena keterbatasan biaya dalam memenuhi tradisi. Namun, calon Fadly tiba-tiba dijodohkan orang tuanya dengan pria yang lebih mapan. Fadly harus menemukan jodoh penggantinya di waktu singkat yang tersisa, atau pernikahan kembar mereka terancam batal!

Film ini akan membawa penonton ke dinamika Fadly dalam menemukan pengganti calon pasangannya dalam waktu singkat. Mulai dari mencoba dating app hingga perjodohan orangtuanya, semua ia lakukan. Namun, mencari jodoh tak semudah itu. Belum lagi, dengan tekanan sosial dan tradisi yang turut membuat Fadly kian tersudut. Sementara, kedua saudaranya dengan pasangannya, yang sudah lebih siap ikut kegantung pernikahannya, membuat situasi menjadi semakin rumit.

Produser Chand Parwez Servia mengungkapkan film Jodoh 3 Bujang akan memberikan perspektif baru yang memperkaya perfilman Indonesia dengan menghadirkan latar budaya Bugis-Makassar, dalam dinamika permasalahan yang banyak dihadapi oleh anak muda saat ini, yaitu tentang mencari jodoh. Di Indonesia sendiri, menurut data Statista, ada 4,6 juta pengguna dating app pada tahun 2024, sebuah data yang juga dicerminkan di film ini melalui perjuangan Fadly.

“Starvision selalu ingin hadirkan perspektif baru dalam sinema Indonesia. Cerita yang kami bawa tak hanya berpusat di Jakarta, namun juga membawa cerita-cerita yang unik dan kuat dari berbagai wilayah di Indonesia. Setelah berhasil membuat penonton Indonesia memiliki kedekatan dengan Komang, yang berlatar budaya Buton dan Bali, kali ini lewat Jodoh 3 Bujang kami ingin menyoroti kisah komedi romantis dengan irisan isu cinta beda status sosial dengan latar budaya Bugis-Makassar. Semoga penonton bisa mengambil pelajaran berharga dari yang dialami oleh para karakter di film ini,” kata produser Jodoh 3 Bujang Chand Parwez Servia.

Produser Futih Aljihadi dari Rhaya Flicks menambahkan, salah satu alasan terlibat dalam produksi film ini karena ia meyakini Starvision memiliki rekam jejak yang kuat dalam mengolah cerita-cerita yang punya kelekatan dengan kelokalan.

“Secara rekam jejak, Starvision adalah rumah produksi yang memberikan ruang secara luas untuk cerita-cerita lokal bisa dinikmati oleh penonton Indonesia yang lebih luas. Sebab itu, Rhaya Flicks pun percaya melalui film Jodoh 3 Bujang penonton Indonesia akan kembali merasakan kehangatan dalam balutan komedi romantis yang menjadi ciri khas Starvision. Ini adalah kisah yang akan memberikan kita pandangan baru tentang budaya yang begitu beragam di Indonesia,” ujar produser Jodoh 3 Bujang Futih Aljihadi dari Raya Flicks.

Penulis dan sutradara Arfan Sabran menjelaskan, film Jodoh 3 Bujang ingin menangkap bagaimana realitas kota Makassar saat ini. Bagaimana generasi muda Makassar menghadapi tradisi yang dianut dan dipercayai oleh orangtua mereka, namun juga harus berhadapan dengan realitas kehidupan modern.

“Makassar adalah kota yang dinamis. Industri musik hingga film, semuanya hidup. Namun, di tengah perkembangan dinamis kota Makassar, juga masih ada tradisi yang dianut dan dijalankan. Di film ini, saya ingin memperlihatkan bagaimana pergeseran tradisi tersebut serta dampaknya, baik terhadap generasi yang lebih tua maupun generasi muda sekarang,” kata Arfan Sabran.

Di film ini, dilema tak hanya dihadapi oleh Jourdy Pranata sebagai Fadly. Namun, dinamika dan konflik juga dihadapi oleh karakter lain, seperti Nisa yang diperankan oleh Maizura. Ia, dipaksa harus mengikuti keputusan orangtuanya, saat ada yang datang untuk melamarnya dengan membawa uang panai 500 juta rupiah, sementara Fadly, hanya 50 juta rupiah.

Nisa telah menjalin hubungan pacaran dengan Fadly selama 3 tahun. Namun, karena keduanya berangkat dari latar keluarga yang berbeda status sosial, membuat kisah romansa mereka harus kandas.

“Nisa sebenarnya bukan karakter antagonis. Ia juga menjadi korban pasif dari sistem yang begitu menekan. Karakternya kompleks, dia dituntut untuk terlihat biasa-biasa saja tapi di dalamnya menyimpan luka dan konflik batin. Dan karakter Nisa ini nyata sekali, seperti banyak perempuan di dunia nyata yang tidak bisa memilih jodoh pilihannya sendiri,” ujar Maizura.

Sementara, Jourdy, yang memerankan Fadly, dihadapkan pada tanggung jawab keluarga. Sebagai anak pertama, ia dituntut untuk bisa memenuhi ekspektasi orangtua dan menjadi pelindung bagi kedua adik laki-lakinya.

“Di film ini, akan diperlihatkan bagaimana seorang laki-laki mengalami perubahan yang sangat berarti pada usia tertentu. Secara pribadi, aku sangat tertantang dengan premis film ini, bagaimana tiga saudara mau menikah bersamaan tapi satu saudaranya tiba-tiba jodohnya ditikung. Aku belum pernah lamaran ataupun menikah, jadi itu tantangan juga. Mungkin Jourdy dan Fadly punya kemiripan, sama-sama dalam fase mencari jodoh. Dan film ini jadi lebih menarik bagiku, karena belajar budaya seperti adanya uang panai yang seakan menjadi standar tertentu, yang menurutku jauh dari logikaku. Jadi aku banyak diskusi untuk memahami kultur Bugis-Makassar di film ini,” terang Jourdy Pranata.

Aisha Nurra Datau, yang memerankan Rifa, teman dekat Fadly semasa kuliah dan akhirnya harus berpisah lama dengannya karena melanjutkan pendidikan di Jogja, berada pada situasi yang berbeda dengan Maizura sebagai Nisa. Rifa, dengan statusnya sebagai anak perempuan tunggal Bugis yang sudah lulus S2 dan pernah umrah, justru ‘takut’ jika uang panainya terlalu tinggi dan memberatkan calon jodohnya.

Meski karakter yang diperankan sangat bertolak belakang dengannya, Nurra mencoba memahami Rifa dan berempati dengannya. “Selain dari bahasa dan budaya yang harus dipelajari, karakter Rifa itu sebenarnya sangat berbeda denganku. Jadi aku harus menyelami lebih dalam dan banyak berdiskusi dengan sutradara. Menurut aku film Jodoh 3 Bujang ini selain bawa tradisi tapi ini adalah sebuah film yang mengartikulasikan a fresh pack of idea of womans thinking yang ada di daerah. Baik Rifa maupun Nisa, keduanya menghadapi konflik batin mereka,” kata Aisha Nurra Datau.

Film “Jodoh 3 Bujang” tayang di bioskop mulai 26 Juni 2025! Ikuti informasi terbaru melalui akun Instagram resmi @jodohtigabujang dan @starvisionplus, juga TikTok @StarvisionOfficial.

Comments are closed.