JAKARTA, businessnews.co.id – Serikat Petani Indonesia (SPI) menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terarah dengan tema “Petani-Rakyat Bersatu, Tegakkan Kedaulatan Pangan untuk Indonesia Bebas Impor Beras” di bilangan Cikini Jakarta, pada hari Rabu 17 Februari 2024.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai elemen, mulai dari para petani anggota SPI hingga organisasi petani, nelayan, buruh, mahasiswa, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil lainnya.
Dalam sambutan pembukanya, Ketua Umum SPI, Henry Saragih menyebut di Indonesia berada dalam situasi memilukan karena semakin mengalami ketergantungan pangan.
“Kita bisa melihat ketergantungan pangan pokok semakin hari semakin tinggi. Untuk beras, impor sebesar 3,3 juta ton pada tahun 2023 merupakan impor beras terbesar yang dilakukan pemerintah, dalam 25 tahun terakhir sejak tahun 1998” ujar Henry yang mengikuti kegiatan secara daring.
Henry juga menyebut bahwa derasnya arus impor pangan di Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1998. Ditandatanganinya LoI dengan IMF mendorong Indonesia untuk membuka pasar pangan dari luar negeri, seperti beras, tepung gandum, gula, bawang putih, hingga daging sapi, dan tanaman pangan lainnya.
“Terkini, semangat impor pangan justru dikuatkan dengan lahirnya UU Cipta Kerja. Undang-undang ini menganulir berbagai UU yang sebelumnya berpihak pada petani. Jika kondisi ini (impor pangan) terus terjadi, hal ini semakin membuat bangkrut kaum tani di Indonesia” ujarnya.
Jalannya Diskusi Kelompok Terpimpin
Pada sesi diskusi, terdapat 5 (lima) narasumber yang membahas bagaimana impor beras yang direncanakan pemerintah dari berbagai perspektif. Prof. Dwi Andreas, selaku akademisi dari IPB dan juga Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) menyampaikan bahwa rencana impor yang diusulkan oleh pemerintah adalah suatu hal yang janggal.
“Impor beras 2024 tidak ada dasarnya sama sekali. Pemerintah berdalih bahwa situasi tidak normal akibat adanya fenomena el nino. Ini terus digaung-gaungkan oleh pemerintah, padahal menurut data iklim pada tahun 2024 akan normal kembali”. ujarnya.
Muhammad Rifai dari Aliansi Petani Indonesia (API) selaku narasumber kedua, menyinggung perihal isu impor pangan yang berdekatan dengan momen-momen politik, sehingga wajar jika menimbulkan kecurigaan publik.
“Isu ini adalah isu yang biasanya muncul pada momen politik, kalau saat ini konteksnya saat menjelang Pemilu 2024. Bagaimana kondisinya di masyarakat? Apakah benar-benar perlu impor karena ketidaktersediaan pangan? Nyatanya juga yang terjadi adalah petani merasa kesulitan karena kenaikan harga pada proses produksi, padahal barang banyak beredar di pasar.” ujarnya.
Said Abdullah selaku Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyebutkan bahwa rencana impor beras tersebut menunjukkan kegagalan pemerintah dalam pembangunan pertanian di Indonesia.
“Sensus Pertanian menyebut bahwa jumlah petani tanaman pangan berkurang dari 17,7 juta rumah tangga di tahun 2013 menjadi 15,5 juta rumah tangga pada 2023. Ironisnya ternyata jumlah petani gurem bertambah, dari 14,25 juta rumah tangga di tahun 2013, menjadi 16,89 juta di tahun 2023. Semakin tinggi angka petani gurem, artinya semakin tinggi juga pelepasan tanah untuk petani” ujarnya.
Marthin Hadiwinata dari FIAN Indonesia membahas terkait perspektif ketahanan pangan yang dijadikan sebagai model pembangunan pertanian di Indonesia. Menurutnya, ketahanan pangan yang didorong oleh pemerintah menjadi legitimasi untuk terus-terusan melakukan impor sebagai upaya memenuhi pangan di dalam negeri.
“Semestinya ini cukup jelas bagi negara yang sudah meratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak EKOSOB, bahwa negara diwajibkan untuk mempertimbangkan dampak impor pangan terhadap produsen pangan dalam negeri. Sikap pemerintah yang perlu dipertanyakan lagi karena tidak melaksanakan UU Perlindungan Pemberdayaan Petani dengan tidak adanya peraturan pelaksana, hingga kewajiban pemerintah untuk menyerap produksi pertanian nasional dari petani tidak berjalan.” tambahnya.
Narasumber terakhir, Zainal Arifin Fuad selaku Ketua DPP-SPI sekaligus International Coordinating Committee La Via Campesina (Gerakan Petani Dunia), juga menyinggung mengenai perspektif ketahanan pangan yang dipakai pemerintah Indonesia justru semakin membuat ketergantungan pangan semakin tinggi.
Menurut Zainal, watak pemerintah yang mudah mengimpor pangan terkhusus beras lanjut dilembagakan dan dipermudah melalui Omnibus Law UU Cipta Kerja.
“Sementara itu berdasarkan data BPS, dalam sepuluh tahun terakhir satu sisi petani gurem bertambah, jumlah keluarga pertanian berkurang. Bahkan Bappenas meramalkan profesi petani akan hilang di tahun 2063 dan sekber UNDFF Roma akan membuat diskusi tentang ‘petani akan hilang?. Pada sisi lain, kita sudah punya Deklarasi Hak Asasi Petani dan Orang-orang yang Bekerja di Perdesaan (UNDROP), UUPA 1960, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Pangan, dan peraturan perundang-undangan yang memihak kepada petani”, imbuh Zainal.
Belum lagi jika dikaitkan dengan Indonesia sebagai importir gandum terbesar di dunia. Dampak harga beras yang mahal, rakyat menengah ke bawah membeli mie instan. Sedangkan rakyat kelas atas makan roti. Keduanya terbuat dari gandum. Konsumsi beras yang turun, justru menaikan ketergantungan terhadap gandum. Ini membahayakan.
“SPI dan La Via Campesina dalam hal ini menilai bahwa solusi untuk masalah pangan di dunia adalah dengan Kedaulatan Pangan, yang salah satu prinsipnya adalah pemenuhan hak, apakah itu hak atas tanah, benih, air, hingga faktor produksi lainnya. Sementara dalam ketahanan pangan, justru kita mempertanyakan solusi impor yang didorong. Hal ini justru membuat sebuah negara yang bisa memproduksi pangan, justru menjadi tidak bisa memproduksi pangan secara mandiri karena hanya memperhitungkan aspek ekonomi saja” pungkasnya.
Comments are closed.