BPJS Kesehatan Alami Surplus di 2020 Usai Defisit Arus Kas, Ini Rahasianya!
BusinessNews Indonesia – BPJS Kesehatan menutup tahun 2020 dengan surplus arus kas Rp 18,7 triliun. Padahal seperti diketahui pada awal tahun mengalami defisit arus kas.
Fachmi Idris, Direktur Utama BPJS Kesehatan, menerangkan bahwa defisit arus kas dana jaminan sosial (DJS) berakhir sekitar pertengahan 2020. Mulai Juli 2020 sudah tidak ada lagi kasus gagal bayar klaim.
“Akhir 2020 laporan unaudited yang ada itu saat ini BPJS Kesehatan surplus arus kas DJS sebesar Rp18,74 triliun,” terang Fachmi dalam paparan kinerja 2020, seperti dikutip dari Bisnis (9/2).
Berdasarkan keterangannya, faktor utama perbaikan arus kas sehingga defisit dapat diatasi adalah penyesuaian iuran yang dilakukan melalui Peraturan Presiden (Perpres) 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan, aturan pengganti Perpres 75/2019 yang sebelumnya sempat dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Fachmi mengklaim bahwa besaran iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah dikaji Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sesuai dengan perhitungan aktuaria. Kajian tersebut telah dilakukan sejak pembentukan BPJS Kesehatan pada 2014 lalu sebagai transformasi dari Askes.
Rekomendasi besaran iuran hasil kajian tersebut belum dapat sepenuhnya diterapkan, baik pada 2014 maupun tahun berikutnya. Karena terus ditinjau setiap dua tahun sekali. Penyesuaian iuran yang dilakukan melalui perhitungan aktuaria, kata dia, adalah kunci utama masalah defisit DJS terpecahkan.
“Ada skema di luar iuran selama ini, suntikan dana tambahan (dari pemerintah), tapi tentu akan lebih sustain pada saat iuran ini disesuaikan. Iuran salah satu (faktor), surplus ini sebetulnya sistemik,” ungkapnya.
Tiga Jurus Tekan Defisit ala Direksi BPJS Kesehatan
Dikutip dari bisnis.com, Setidaknya, Fachmi menerangkan bahwa terdapat tiga hal yang paling diperhatikan jajaran direksi BPJS Kesehatan dalam menekan defisit. Pertama adalah strategic purchasing atau belanja strategis, dimana BPJS mengeluarkan uangnya demi pelayanan yang bermutu dengan biaya yang terkendali.
“Ini faktor di luar iuran, upaya bahwa service bermutu dan biaya terkendali,” kata dia.
Kedua adalah revenue collection atau penagihan iuran. Dimana dalam situasi pandemi Covid-19 ini terdapat peningkatan partisipasi pembayaran iuran seperti yang terjadi di segmen peserta Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPU BU).
Baca juga: IMF Sebut 2021 Jadi Tahun Penentu Abad 21
Faktor ketiga adalah risk pooling yang dijadikan prinsip utama asuransi. Dimana pengumpulan risiko dari banyaknya peserta jaminan sosial yang terkumpul, kemudian iuran yang diperoleh dikelola untuk memberi manfaat bagi peserta lain yang membutuhkan.
“Faktor ini menjadi penting, peserta tidak hanya mendaftar pada saat sakit. Kami advokasi dan edukasi masyarakat yang tidak menjadi peserta. Bekerja bersama memastikan surplus ini berjalan dengan baik,” tuturnya. (W/ZA)
Baca juga: Kemenperin Dorong Percepatan PEN Melalui Penerapan P3DN
Comments are closed.