BI Perkirakan Inflasi Inti Semester I 2023 di Bawah 4 Persen
Jakarta, Businessnews.co.id – Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi inti pada semester I 2023 di bawah 4 persen, yang ditopang antara lain oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga pasca penghapusan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dan investasi nonbangunan.
“Kami pastikan inflasi inti di bawah 4 persen, perkiraan kami 3,5, paling tinggi 3,7,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam acara Starting Year Forum 2023 dilansir ANTARA, Rabu (25/1/2023).
Inflasi inti adalah komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal yang berupa nilai tukar, harga komoditi internasional, dan inflasi mitra dagang, serta ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.
Perry menuturkan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada semester I 2023 diperkirakan masih di atas 4 persen karena harga diatur pemerintah (administered price) dan dampak lanjutan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM). Namun, pada semester II 2023 inflasi IHK diperkirakan turun.
“Inflasi IHK-nya di semester II akan turun, setelah September kami yakin akan di bawah 4 persen,” ujarnya.
Bank Indonesia meyakini inflasi IHK kembali ke dalam sasaran tiga persen plus minus satu persen pada semester II 2023, dengan terus memperkuat respons kebijakan moneter dan berkoordinasi dengan pemerintah untuk memastikan penurunan dan terkendalinya inflasi tersebut.
Sinergi kebijakan antara Bank Indonesia dengan kebijakan sektor pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan juga diperkuat untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sektor keuangan, mendorong kredit/pembiayaan kepada dunia usaha khususnya pada sektor-sektor prioritas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan ekspor, serta meningkatkan ekonomi dan keuangan inklusif dan hijau.
Selain itu, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 berada di kisaran 4,5 persen hingga 5,3 persen di tengah menurunnya prospek pertumbuhan ekonomi global. Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah kinerja ekspor yang kuat, konsumsi rumah tangga, dan investasi nonbangunan.
Menurut Perry, semula kredit yang banyak tumbuh adalah kredit modal kerja, namun sekarang akan beralih kepada kredit investasi karena beberapa perusahaan yang pulih pasca pandemi COVID-19 sudah mulai mengeluarkan capital expenditure sehingga mereka membutuhkan kredit investasi.
Demikian pula kredit konsumsi diperkirakan akan naik seiring dengan membaiknya konsumsi rumah tangga yang sejalan dengan meningkatnya mobilitas masyarakat pascapenghapusan kebijakan PPKM.
Investasi diprakirakan akan membaik didorong oleh membaiknya prospek bisnis, meningkatnya aliran masuk penanaman modal asing (PMA), serta berlanjutnya penyelesaian proyek strategis nasional (PSN).
Inflasi inti tercatat rendah pada akhir 2022 yaitu sebesar 3,36 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), jauh lebih rendah dari prakiraan Bank Indonesia sebesar 4,61 persen (yoy).
Inflasi IHK pada akhir 2022 sebesar 5,51 persen (yoy), lebih rendah dari prakiraan sesuai dengan Consensus Forecast 6,5 persen (yoy) pascapenyesuaian harga BBM bersubsidi pada September 2022.
Penurunan inflasi inti dan IHK tersebut merupakan hasil koordinasi yang erat antara pemerintah dan Bank Indonesia melalui respons kebijakan moneter BI yang front loaded, pre-emptive, dan forward looking, didukung dengan pengendalian inflasi bahan pangan bergejolak (volatile food) melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP).
Comments are closed.