BusinessNews Indonesia – Direksi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya harus berdasarkan kewajiban untuk bertindak demi kepentingan orang lain dengan itikad baik (fiduciary duty) dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (intra vires). Apabila direksi melakukan tindakan yang bersifat melampaui hukum (ultra vires) maka perlindungan yang diberikan kepada direksi dapat diabaikan sehingga direksi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi.
Dalam Pasal 97 Ayat (5) UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang terjadi pada perseroan apabila dapat membuktikan kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian, untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakbatkan kerugian, dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
“Dilema Direksi dalam mengambil keputusan strategis yang memiliki risiko bisnis dan risiko hukum yaitu terjadi tumpang tindihnya pengaturan tentang keuangan negara terkait tafsir kerugian bisnis (corporate loss) dengan kerugian negara (state loss) seperti di UU Tipikor, UU Keuangan Negara, UU BUMN, UU Perbendaharaan Negara, dan lainnya,” ujar Ketua Umum Forum Manajemen Risiko BUMN Tahun 2018-2023, Doni Muhardiansyah dalam acara workshop dan seminar terkait Implementasi GRC & ESG Mendukung Business Judgement Rule UU BUMN & UU PT di Hotel Aryaduta Bandung, pada Kamis (5/12/2024).
Negara merupakan pemegang saham mayoritas atau bahkan pemegang saham keseluruhan dari BUMN, sehingga kerugian yang dialami oleh suatu BUMN seringkali dianggap sebagai sebuah kerugian negara mengingat adanya penyertaan modal negara dalam BUMN tersebut.
Pasal 1 angka 15 UU BPK, kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Pembuktian kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi dilakukan dengan menggunakan hasil pemeriksaan dan perhitungan dari BPK selaku lembaga yang berwenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK.
BUMN tidak hanya tunduk pada UU BUMN, melainkan juga tunduk pada segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas dalam UU PT. Pasal 97 ayat (5) UU PT pada dasarnya mengatur suatu bentuk perlindungan terhadap direksi yang mengambil keputusan bisnis yang menimbulkan kerugian bagi Perseroan.
Doni menjelaskan bahwa “Idealnya, doktrin BJR memberikan perlindungan kepada direksi, dan perlindungan bagi direksi ini juga mengikat hakim dalam mempertimbangkan dan memutus perkara. Hakim adalah ahli dalam bidang hukum namun bukan merupakan ahli dalam mengelola perusahaan dan bisnis, oleh karena itu hakim harus menghormati keputusan bisnis direksi tanpa perlu campur tangan dan memberi pendapat bandingan atas keputusan bisnis direksi.”
Doktrin BJR diterapkan oleh pengadilan dengan pemikiran bahwa pengadilan tidak mempunyai kemampuan yang baik dalam mengambil keputusan bisnis. Pengadilan harus menghormati putusan bisnis yang diambil oleh orang-orang yang memang mengerti dan berpengalaman dalam bidang bisnis. Pengadilan hanya mempertimbangkan ketentuan hukum tanpa perlu memperhatikan manfaat ekonomis dan keadaan sosial perusahaan.
Langkah internal membangun GRC terintegrasi memberikan landasan kuat bagi pengambilan keputusan bisnis yang dilakukan oleh Direksi dan monitor kemajuannya dengan membangun sistem ber-TARIF, budaya sadar risiko, dan budaya kepatuhan.
“Dalam prinsip manajemen pemangku kepentingan yang efektif, terdapat langkah-langkah eksternalnya yaitu dengan cara mengidentifikasi, memahami, berstrategi, memperioritaskan, mengelola, dan menanggapi,” tutup Doni.
Comments are closed.